Tuesday, October 18, 2011

Merokok: Kebiasaan atau Kebinasaan?

Salah satu hal tersulit dalam kehidupan bermasyarakat adalah memberlakukan aturan bagi semua komunitas.

Lebih sulit lagi apabila masyarakat tidak paham sedikit pun dasar mengapa aturan diberlakukan. Maka, yang terjadi justru kontroversi pihak yang merasa ”hak”-nya dibatasi. Sebutlah aturan bahwa pengendara motor diwajibkan di lajur paling kiri dan menyalakan lampu kendaraan, yang sekarang hanya ditaati sebagian pengendara.

Tingkat kedewasaan komunitas dapat dibaca dari alasan dan bagaimana suatu aturan diberlakukan. Penguasa yang membiarkan rakyatnya tetap tumbuh di kematangan otak primitif reptilian (batang otak dan otak kecil) akan selalu berbenturan dengan masalah ”survival”. Siapa bertahan, mana lebih kuat, bagaimana caranya lolos dari pantauan, dan yang penting tetap bertahan (dengan kebiasaan dan kenikmatan saya). Aturan dan hukum yang diturunkan tanpa pemahaman akhirnya seperti mendidik balita karena melibatkan fungsi kontrol yang sangat melelahkan.

Kematangan otak mamalia manusia tampak begitu tingkat kesadaran bukan lagi tentang ”aku yang bertahan”, tetapi melibatkan ”kamu” sebagai orang kedua. Ini seperti nasib perokok pasif: tidak merokok tetapi terkena imbasnya.

Fungsi limbik otak mamalia manusia tumbuh pada usia 2-6 tahun, mencerminkan fungsi melindungi dan berbelas kasih. Penerapan peraturan persuasif lebih mengena di tahap ini.

Tingkat kesadaran

Peraturan berjalan baik apabila pematangan kesadaran dan tingkat pendewasaan berhasil baik pada masa pendidikan sekolah dasar dan menengah. Saatnya belah otak kiri dan kanan mengambil fungsi, membuat keputusan dan pilihan berdasarkan pemahaman ”baik-buruk”, ”benar-salah”. Lingkupnya bukan lagi tentang ”saya” dan ”kamu”, tetapi ”saya-kamu dan mereka”.

Merokok bukan hanya asapnya dihirup oleh perokok pasif. Sisa asap rokok yang menempel pada pelapis dinding, karpet lantai, perabot, bahkan baju dan rambut mengandung tobacco-specific nitrosamines yang tidak begitu saja menguap!

Peraturan dan perundangan yang tidak melelahkan aparat terjadi ketika fungsi ”saya mampu memilih” berjalan dalam masyarakat. Artinya, seseorang bertanggung jawab atas semua hasil perbuatannya dan tak ada lagi alasan perbuatan tanpa disadari.

Salah satu kontributor keberhasilan fungsi ”saya mampu memilih” adalah pemahaman. Namun, edukasi dan upaya promosi tentang hidup sehat bebas rokok masih sangat rendah, terkait dengan (lagi-lagi) dana proyek. Begitu pula dengan promosi dan prevensi bahaya merokok.

Setiap orang yang sadar, apabila mendapat informasi lengkap tentang sesuatu yang mengancam dirinya dan orang-orang yang dicintainya, tentu akan mengambil pilihan dan tindakan proaktif. Inilah yang bisa menjadi gerakan komunitas nasional, tanpa perlu larangan dan aturan.

Untuk itu, diperlukan kerja keras berkali lipat daripada, misalnya, upaya mengatasi flu burung. Ancaman instan flu burung membuat orang lebih cepat sadar ketimbang ancaman masa depan rokok yang muncul setelah timbul kanker dan jantung koroner sekian puluh tahun kemudian.

Kepublikan sensasi

Batu sandungan terletak pada tingkat kematangan otak. Tahapan pendewasaan ternyata terhenti di tingkat primitif yang hanya memikirkan diri sendiri. Ciri khas tingkat ini terjadi ketika manusia berhenti melanggar semata-mata karena takut dihukum dan dipermalukan.

Sebaliknya apabila kesadaran telah mencapai pencerahan tertinggi, hukum moral imperatif kategoris, seperti dikemukakan filsuf Immanuel Kant, baru bisa bekerja. Artinya, suatu aturan (bahkan kewajiban moral) dijalankan bukan karena saya menghindari hukuman atau mencari imbalan, melainkan karena diri saya mengharuskannya.

Sebagai penggagas sintesis antara rasionalisme dan empirisme, Kant sangat cermat dan cerdas. Gagasan Kant menutup lubang-lubang kemungkinan kesalahan dan kecurangan manusiawi—sebagaimana tampak pada kerangka berpikirnya dalam Kontribusi untuk Perdamaian Abadi, awal Oktober 1795—masih relevan dikaji oleh pengendali negara saat ini.

Kepublikan yang terpapar di negeri ini bukanlah kepublikan rasional sebagaimana dicita-citakan Kant, melainkan kepublikan sensasi—yang lebih mirip menelanjangi obyek pencetus nafsu dan gairah—tanpa akal.

Berhenti kebiasaan merokok bukan berarti petani tembakau dan buruh pabrik rokok berhenti makan. Alasan klasik pembenaran suatu kepentingan akan mencegat kemajuan dan kreativitas belah otak kiri dan kanan manusia. Itulah yang membinasakan manusia.

Tan Shot Yen Dokter, Magister Filsafat Humaniora, Kandidat Doktor Ilmu Gizi Komunitas SEAMEO,Fakultas Kedokteran UI


http://health.kompas.com/read/2010/11/12/03063951/Merokok.Kebiasaan.atau.Kebinasaan.

No comments:

Post a Comment