Tuesday, October 25, 2011

Perangi Rokok Lewat Sepotong Gambar

KOMPAS.com - Pernahkah anda melihat rongga mulut manusia yang telah digerogoti tumor ganas? Rasa ngeri terhadap ancaman kanker niscaya akan menyergap begitu melihat gambar mulut seseorang yang terkena kanker. Bentuk kanker pada bibir, lidah dan gusi menyerupai sariawan. Gusi pun bengkak dan berdarah.

Bayangkan bila gambaran menakutkan itu terpampang dalam bungkus rokok dengan luas gambar 50 persen dari sisi lebar bungkus rokok disertai tulisan peringatan kesehatan. Dijamin, selera untuk merokok, termasuk para perokok berat, akan turun drastis. Tanpa berbusa-busa memaparkan bahaya rokok bagi kesehatan, perokok akan berpikir ulang untuk menikmati kepulan asap rokok.

Bila Anda melancong ke sejumlah negara Asean seperti Singapura, Malaysia, Brunei dan Thailand, peringatan kesehatan berbentuk gambar itu akan dengan mudah dijumpai pada kemasan rokok. Oleh karena, pemerintah setempat telah menerapkan peraturan peringatan kesehatan berbentuk gambar pada semua kemasan rokok yang dijual di negara itu, termasuk rokok produksi Indonesia.

Untuk memperingatkan bahwa rokok meningkatkan risiko menderita kanker mulut, dalam kemasan rokok terpampang gambar isi rongga mulut yang digerogoti kanker disertai tulisan Peringatan: Merokok Menyebabkan 92 persen dari Angka Kejadian Kanker Mulut. Gambar lain adalah, perdarahan otak pada penderita stroke dan tulisan Peringatan: Merokok Menyebabkan Stroke. Pada kemasan rokok lain ada gambar janin tidak berkembang disertai keterangan Peringatan: Merokok Meningkatkan Risiko Keguguran .

Peringatan kesehatan berbentuk gambar pada semua bungkus rokok ini dinilai para pengambil kebijakan di sejumlah negara Asean merupakan cara efektif un tuk mengurangi dampak buruk tembakau bagi kesehatan. Sebab, peringatan kesehatan dalam bentuk tulisan dianggap kurang menciutkan nyali perokok terhadap ancaman kesehatan karena merokok.

Namun, di Indonesia yang merupakan negara produsen rokok terbesar di Asia Tenggara, belum ada aturan yang mewajibkan perusahaan rokok mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar pada bungkus rokok produksinya. Indonesia juga satu-satunya negara di Asia yang belum mengaksesi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Temba kau WHO (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) yang disepakati secara aklamasi dalam Sidang Kesehatan Dunia, Mei 2003.

Gurihnya cukai rokok dan besarnya jumlah tenaga kerja yang terserap indutri rokok jadi dalih keengganan pemerintah meratifikasi FC TC. Sebenarnya seberapa besar sumbangan industri rokok? Soewarta Kosen dari Litbang Departemen Kesehatan pernah meneliti, tahun 2005 biaya akibat konsumsi tembakau Rp 167,1 trilyun meliputi biaya pembelian rokok, hilangnya produktivitas dan biaya pengobat an penyakit terkait rokok. Jumlah itu 5,1 kali lebih tinggi dari pemasukan cukai tahun yang sama sebesar Rp 32,6 trilyun.

Masalah global

Konsumsi rokok merupakan masalah global yang berakibat pada kesehatan dan ekonomi rumah tangga, penduduk dan negara. M enurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), asap tembakau berbahaya terhadap perokok dan orang sekitarnya, dengan kandungan lebih dari 4.000 bahan berbahaya seperti nikotin (pembunuh serangga), tar (bahan aspal), karbon monoksida dan hidron sianida (gas beracun), dan arsen (racun mematikan).

Tembakau jadi faktor risiko utama pada 6 dari 8 penyebab kematian di dunia yang mengancam miliaran pria, wanita dan anak-anak. Pada tahun 2030, diperkirakan 80 persen kematian terkait tembakau terjadi di negara-negara berkemban g. Merokok menyebabkan kanker dan penyakit kronis seperti stroke, penyakit jantung koroner, pneumonia, asma dan gangguan pernapasan lain, gangguan reproduksi serta kesuburan. Risiko kesehatan ini juga dialami mereka yang terpapar asap rokok orang lain.

Laporan Global Pengendalian Tembakau Tahun 2008 menyebutkan, hampir dua per tiga perokok tinggal di 10 negara, dan Indonesia menempati urutan ketiga setelah China dan India. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional, tahun 2004 prevalensi merokok dewasa usia 15 tahun ke atas adalah 34,4 persen, meningkat dari 31,5 persen tahun 2001. Prevalensi merokok dewasa laki-laki pada tahun 2004 sebesar 63,1 persen.

Kelompok berpendidikan rendah dan remaja rawan kecanduan merokok. Sebanyak 67 persen dari populasi pria ta k sekolah atau tidak lulus SD adalah perokok aktif. Adapun prevalensi remaja pria perokok aktif usia 13-15 tahun adalah 24,5 persen, dan remaja usia 15-19 tahun prevalensinya 33 persen. Yang memprihatinkan, menurut Hasil Survei Global Tembakau Remaja Indo nesia tahun 2006, perokok yang memulai di usia 5-9 tahun naik dari 0,4 persen tahun 2001 jadi 1,8 persen tahun 2004.

Rokok juga memperburuk status gizi balita pada keluarga miskin, kata mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia Prof Farid Anfasa Moeloek, dalam diskusi terbatas (9/5), di Jakarta. Dari data WHO 2006, di Indonesia ada 55 juta perokok aktif. Dengan sumber daya ekonomi terbatas, 22 persen dari total belanja mingguan rumah tangga miskin di perkotaan untuk membeli rokok. Menurut Susenas 2006, pengelu aran untuk rokok 5 kali dari pengeluaran untuk telur dan susu, dua kali pengeluaran untuk ikan, dan 17 kali belanja daging.

Lebih efektif
Mengingat besarnya dampak buruk rokok bagi kesehatan dan ekonomi penduduk di Indonesia, Widyastuti Soerojo, Ketua Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, menyatakan pengendalian tembakau seharusnya jadi prioritas dalam agenda kesehatan . Namun sejauh ini Rancangan Undang Undang Ratifikasi FCTC masih tertahan di lembaga eksekutif, sedangkan RUU pengendalian tembakau masuk agenda pembahasan di lembaga legislatif tahun ini.

Berharap Pemerintah Indonesia segera meratifikasi FCTC tentu butuh waktu lama. Akan tetapi, ada terobosan yang bisa dikerjakan Departemen Kesehatan yaitu mengajukan draft peraturan pemerintah yang baru untuk masalah tembakau ini. Setidaknya, memuat aturan yang mewajibkan perusahaan rokok mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar dan tulisan pada semua bungkus rokok yang beredar di Indonesia.

Di banyak negara di Eropa yang sudah lebih dulu menerapkan aturan ini, upaya itu terbukti efektif. Mengingat luasnya wilayah Indonesia dan minimnya dana sosialisasi, penerapan aturan itu merupakan sa rana informasi dan pendidikan bagi masyarakat luas yang efektif dan murah karena biayanya tidak ditanggung pemerintah, kata Rita Damayanti, peneliti dari Pusat Penelitian Kesehatan (PPK) Universitas Indonesia.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003, tiap bungkus rokok harus mencantumkan peringatan kesehatan tunggal dan tidak berganti-ganti yang bunyinya Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin . Setiap iklan rokok harus mengalokasikan minimal 1 5 persen dari luasnya untuk peringatan kesehatan yang sama. Hal ini berbeda dengan FCTC WHO yang mensyaratkan, peringatan kesehatan menempati 30-50 persen dari permukaan lebar bungkus rokok, pesan tunggal dan berganti-ganti, bisa berbentuk gambar.

Menurut hasil studi PPK UI, meski lebih dari 90 persen masyarakat pernah membaca peringatan kesehatan pada bungkus rokok, tapi 42,5 persen dari mereka tak percaya karena tidak melihat bukti. Sebanyak 26 persen dari responden tidak termotivasi berhenti merokok, 26 persen tak peduli karena terlanjur ketagihan, 20 persen mengatakan tulisan tidak jelas. Mayoritas responden memilih peringatan kesehatan berbentuk gambar disertai tulisan, 80 persen di antaranya mengusulkan luas gambar 50 persen dari sisi lebar kemasan rokok.

Maka dari itu, menurut Rita, hasil studi persepsi masyarakat yang menghendaki peringatan kesehatan berbentuk gambar dan tulisan serta menempati 50 persen permukaan lebar bungkus rokok seharusnya jadi rujukan untuk mengubah pasal terkait PP No 19 Tahun 2003. Penerapan aturan peringatan kesehatan berbentuk gambar pada bungkus rokok merupakan cara cerdas mengendalikan dampak rokok bagi kesehatan.


http://health.kompas.com/read/2009/05/15/16505839/Perangi.Rokok.Lewat.Sepotong.Gambar.

No comments:

Post a Comment