Monday, October 24, 2011

DKI Tak Serius soal Kawasan Bebas Rokok

JAKARTA, KOMPAS - Acungan jempol diberikan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat mengeluarkan aturan tentang kawasan dilarang merokok, sebagai bagian dari gerakan antirokok. Sayangnya, di Kantor Pemprov DKI Jakarta sendiri masih banyak yang belum serius mendukung gerakan antirokok itu.

Ketidakpedulian itu setidaknya terlihat dari hasil pengamatan Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta dan Swisscontact Indonesia Foundation (SFJ) pada Mei-Agustus 2009. Dari 41 sampel, 17 di antaranya masuk kategori buruk dalam menerapkan kawasan dilarang merokok (KDM), sementara empat kantor pemerintahan daerah masuk kategori cukup. Meskipun demikian, ada 10 kantor yang masuk kategori baik.

”Indikator penilaiannya antara lain penetapan area dilarang merokok dan ada atau tidaknya kebijakan dilarang merokok di luar gedung,” kata Project Manager SFJ Dolllaris Riauaty Suhadi di Jakarta, Senin (26/10).

Dia mengatakan, minimnya kepedulian kantor pemerintah daerah terhadap gerakan antirokok ini tentu memprihatinkan. Pasalnya, Gubernur DKI Jakarta telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Peraturan Gubernur No 75/2005 tentang KDM.

”Penyebabnya beragam, seperti tidak mengetahui aturan KDM hingga lupa memasang tanda dilarang merokok di tempat yang benar,” kata Riauaty.

Riauaty mengatakan, dalam waktu dekat, SFJ bersama BPLHD DKI Jakarta akan segera mengajukan perda khusus yang mengatur pengendalian pencemaran udara dari asap rokok dalam ruangan atau kawasan tanpa rokok yang baru.

Kepala Bidang Penegakan Hukum BPLHD DKI Jakarta Ridwan Panjaitan mengatakan, pengelola gedung atau kepala kantor diimbau agar serius menerapkan peraturan tentang KDM. Mereka harus berani menegur keras anak buah atau organisasi di bawahnya yang menunjukkan sikap tidak peduli.

Ditanya tentang penerapan Pasal 13 Perda No 2/2005, Ridwan mengakui pasal itu belum sepenuhnya efektif. Alasannya, penerapan pasal itu membutuhkan jumlah sumber daya manusia dan biaya yang besar. Ancaman hukuman enam bulan penjara atau denda sebesar Rp 50 juta bagi pelanggar KDM seperti yang diamanatkan pasal itu juga tidak mudah dilaksanakan.

”Saat ini, aturan hukum dalam KDM masih dimasukkan dalam aturan pidana biasa. Padahal, bila dimasukkan dalam tindak pidana ringan, akan lebih efektif dari sisi biaya dan jumlah sumber daya manusia,” kata Ridwan. (CHE)



http://health.kompas.com/read/2009/10/27/05053390/DKI.Tak.Serius.soal.Kawasan.Bebas.Rokok.

No comments:

Post a Comment