Saturday, October 22, 2011

Rokok, Komoditas Penuh Tipu Daya

KOMPAS.com - Industri rokok identik dengan tipu daya. Mungkin justru karena itulah mereka tetap bisa bertahan hingga kini. Dibendung di satu negara, menyerbu ke negara lain yang lemah penegakan hukumnya dan rendah kemauan politiknya untuk melindungi kesehatan rakyatnya.

Nick Naylor memang sungguh lihai bersilat lidah. Juru bicara utama Institute of Tobacco Studies ini adalah pelobi industri rokok Amerika Serikat.

Dari posisi defensif -karena ia tahu produk yang ia bela membunuh 1.200 orang setiap hari di Amerika Serikat, sama dengan isi dua pesawat jumbo jet- ia berbalik unggul dalam perdebatan pada talk show yang dipandu Joan Lunden. Robin Williger, remaja pria berusia 15 tahun yang didiagnosis terserang kanker paru karena merokok, malah berbalik bersimpati dan merasa dibela Nick Naylor!

Bagaimana mungkin perusahaan-perusahaan rokok besar memperoleh keuntungan jika kehilangan anak muda ini? (Kalau merokok menyebabkan kanker paru) kami akan kehilangan pelanggan. Bukan hanya harapan kami, tapi juga kepentingan terbesar kami untuk mempertahankan Robin hidup dan terus merokok, kata Naylor.

Yang mengampanyekan bahaya rokok hanyalah mereka yang mengharapkan anak seperti Robin mati agar anggaran mereka naik. Ini sama saja dengan memanfaatkan penderitaan orang lain. Kami justru akan mengalokasikan dana sebesar 50 juta dollar AS untuk kampanye mencegah anak-anak dan remaja untuk tidak merokok karena yang terpenting adalah masa depan anak-anak Amerika, demikian argumen Nick Naylor pada awal film Thank You for Smoking.

Film yang dibuat berdasarkan novel kontroversial yang laris karya Christopher Buckley ini sepintas dapat disalahpahami seolah-olah membela industri rokok dan hak-hak para perokok.

Namun, jika disimak, justru film ini menelanjangi praktik kebohongan dan kemunafikan industri rokok, seperti bintang iklan sebuah merek rokok terkenal di AS yang sedang sekarat karena kanker paru coba dijinakkan amarahnya dengan kompensasi sekoper uang tunai yang dibawa Nick Naylor.

Atau upaya industri rokok AS lewat ide Nick Naylor untuk membuat para bintang film Hollywood, seperti Brad Pitt dan Catherine Zeta Jones, merokok dalam film mereka, seperti bintang-bintang film Hollywood tahun 1940-1960-an.

Tak pelak lagi jika novel dan film Thank You for Smoking menyentak publik Amerika yang dalam dua dekade terakhir ini justru sudah punya pandangan amat negatif terhadap industri rokok dan praktik-praktik kebohongan mereka.
Berbeda dengan film The Insider (dibintangi Al Pacino dan Russell Crowe) yang bernuansa serius membongkar skandal dokumen-dokumen rahasia industri rokok AS, film Thank You for Smoking yang bernuansa komedi, selain membuka topeng industri rokok, juga sekaligus mengkritik cara-cara naif para aktivis antirokok. Baik di film The Insider maupun Thank You for Smoking muncul cuplikan dokumenter para CEO tujuh industri rokok AS sebagai bad guys.

Ketujuh CEO industri rokok besar AS itu dijuluki Tujuh Kurcaci karena kesaksian mereka di bawah sumpah di Kongres AS menyatakan kebohongan bahwa nikotin tidak menimbulkan kecanduan.

Anehnya, Nick Naylor yang dibintangi Aaron Eckhart yang sebenarnya adalah tokoh fiktif telah menjelma juga menjadi bad guy. Wajahnya menghiasi sampul buku Kemunafikan & Mitos di Balik Kedigdayaan Industri Rokok sebuah laporan investigatif dan penelusuran dokumen industri rokok yang dilakukan wartawati majalah Tempo, Mardiyah Chamim.

Buku yang terbit awal November 2007 itu menelusur dokumen-dokumen rahasia industri rokok AS di Indonesia. Upaya Mardiyah sebenarnya mengikuti jejak Dr Mary Assunta Kolondai, tokoh Persatuan Organisasi Pengendalian Tembakau Asia Tenggara (Seatca) yang menelusuri dokumen-dokumen rahasia industri rokok AS di Malaysia dan Singapura (untuk tesis master of public health -nya di Universitas Sydney) dan industri rokok AS di Jepang (untuk disertasinya di universitas yang sama).

Dokumen-dokumen itu dapat diakses oleh siapa saja karena memang diputuskan oleh pengadilan AS. Saya sendiri harus membaca jutaan halaman dokumen itu untuk studi saya, tutur Mary Assunta di sela-sela sebuah lokakarya pengendalian rokok untuk wartawan di Anyer, Banten, 21 Juni lalu.

Tentu industri rokok AS tidak akan berbaik hati membuka isi perut mereka jika tidak dipaksa oleh pengadilan AS. Kekalahan pertama mereka di Negara Bagian Mississippi tahun 1996 menjadi titik balik bagi industri rokok besar AS untuk membuka praktik-praktik busuk mereka, seperti penyangkalan bahwa nikotin menimbulkan kecanduan, asap tembakau lingkungan membahayakan perokok pasif, dan lain-lain.

Keberanian pemimpin

Tahun 1992, Kompas dan wartawan surat kabar Indonesia lainnya serta belasan wartawan Asia Pasifik pernah diundang oleh PT BAT Indonesia untuk mengikuti Far East Media Briefing on Smoking Issues yang diadakan di sebuah hotel supermewah di Nusa Dua, Bali.

Acara itu tak lebih dari sebuah upaya cuci otak bahwa rokok tidak menyebabkan kecanduan dan asapnya tidak lebih berbahaya dibandingkan dengan asap knalpot mobil dan pencemaran industri lain.

Praktik industri rokok AS menjerat kaum remaja agar mereka menjadi pencandu nikotin sejak usia belia juga diungkapkan oleh Presiden AS Barack Obama yang pada 22 Juni lalu menandatangani Undang-Undang Pengendalian Tembakau.

Akankah upaya agresif industri rokok AS, seperti Philip Morris dan BAT yang telah membeli Sampoerna dan Bentoel makin merajalela di Indonesia? Kita lihat saja. Sejauh ini telah terbukti mereka melakukan pemekaran merek ( brand stretching) dengan mensponsori sejumlah acara olahraga dan pertunjukan musik yang sasarannya adalah kaum remaja Indonesia.

Cuma mereka kini tak bisa seenaknya melakukan hal ini karena telah mulai muncul perlawanan, yang bukan hanya melibatkan aktivis dalam negeri, tapi juga sudah berjejaring dengan para aktivis antirokok di AS dan negara-negara lain. Hal ini diungkapkan oleh Dina Kania, staf Komisi Nasional Perlindungan Anak, di Konferensi Internasional Tembakau atau Kesehatan XIV di Mumbai, India, Maret lalu.

Kami berhasil mengganggu para manajer penyanyi AS yang akan pentas di Indonesia agar mereka membatalkan show mereka jika acara mereka disponsori industri rokok. Ini berkat kerja sama dan dukungan rekan kami di AS, tuturnya.

Perjalanan Indonesia mengendalikan rokok masih bakal amat lama. Ini bisa diperkirakan dari isi debat para calon wakil presiden yang dipandu Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Dr Fachmi Idris beberapa waktu lalu.

Ketiga cawapres cenderung masih mengutamakan nasib industri rokok dan para petani tembakau ketimbang kesehatan penduduk Indonesia. Mudah-mudahan saja langkah bersejarah Obama bakal diikuti oleh Pemerintah Indonesia. Kuncinya hanyalah keberpihakan pada kesehatan serta nasib jutaan penduduk Indonesia.


http://health.kompas.com/read/2009/07/10/09343658/Rokok.Komoditas.Penuh.Tipu.Daya

No comments:

Post a Comment